get app
inews
Aa Text
Read Next : Viral Isu Jokowi Sakit Kritis, Begini Fakta Sebenarnya

Sidang PK Bambang Tri di PN Solo, Harapan Bebas dari Vonis Ujaran Kebencian Ijazah Jokowi

Kamis, 03 Juli 2025 | 20:23 WIB
header img
Sidang PK yang diajukan Bambang Tri Mulyono, terpidana kasus ujaran kebencian terkait ijazah mantan Presiden Jokowi di PN Solo, Kamis (3/7/2025). Foto: AW Wibowo

SOLO, iNewsBoyolali.id - Sidang Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Bambang Tri Mulyono, terpidana kasus ujaran kebencian terkait ijazah mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mulai digelar di Pengadilan Negeri (PN) Surakarta (Solo), Kamis (3/7/2025). Sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim Halomoan Sianturi SH dengan Hakim Anggota Makmurin Kusumastuti SH dan Dr Dzulkarnain SH MH.
 
Bambang Tri Mulyono yang kini masih mendekam di Lapas Kelas II A Sragen, hadir langsung dalam persidangan dengan didampingi kuasa hukumnya, Pardiman SH dan Yakub Chris Setyanto SH. Sedangkan pihak termohon PK diwakili oleh Apriyanto Kurniawan SH MH.
 
Bambang Tri Mulyono pada tahun 2023 divonis 6 tahun penjara oleh PN Solo. Dia dinyatakan bersalah karena menyebarkan ujaran kebencian mengenai ijazah Jokowi. Pada tingkatan Pengadilan Tinggi (PT), Bambang divonis 4 tahun.
 
Dalam sidang perdana PK Bambang Tri Mulyono, agendanya pembacaan memori PK. Memori PK secara bergantian dibacakan oleh Pardiman SH dan Yakub Chris Setyanto SH.
 
Terdapat 16 poin yang diajukan sebagai dasar PK. Poin-poin itu antara lain pelapor bukan subjek hukum yang Tepat. Dalam kasus pencemaran nama baik, hanya individu korban langsung yang berhak melaporkan, bukan lembaga atau instansi. Putusan MK Nomor 105/PUU-XXII/2024 memperkuat hal ini.
 
"Joko Widodo sendiri tidak dihadirkan sebagai saksi korban dan tidak menyatakan kerugian," kata Pardiman SH.
 
Dikatakannya, tidak ada kerugian nyata dan unsur korban tidak terpenuhi. Video yang disiarkan tidak menimbulkan kerugian langsung pada individu secara nyata. Ketidakhadiran Joko Widodo sebagai korban dalam persidangan menyebabkan bukti tidak cukup dan melanggar prinsip fair trial.
 
Penerapan Pasal 28 ayat (2) jo 45A UU ITE Tidak Relevan. Pasal tersebut berlaku untuk ujaran kebencian berbasis SARA, sementara kasus ini membahas masalah pribadi/administratif Joko Widodo, bukan SARA.
 
Penafsiran "Keonaran" terlalu luas dan tidak terbukti Faktual. Kegaduhan di dunia maya tidak sama dengan gangguan ketertiban umum secara fisik. Tidak ada bukti keonaran yang masif dan sistematis yang mengguncang masyarakat. Putusan MK Nomor 115/PUU-XXII/2024 juga menyatakan kegaduhan di dunia siber bukan tindak pidana.
 
"Mubahalah bukan tindakan pidana. Mubahalah adalah praktik keagamaan yang dijamin konstitusi. Hakim keliru menilai niat Pemohon PK yang melakukan mubahalah sebagai bentuk pertanggungjawaban agama, bukan penyebaran kebohongan," lanjut Yakub Chris Setyanto SH.
 
Dikatakannya, penerapan pasal 55 KUHP tidak tepat. Tidak ada bukti niat bersama atau kesepakatan pidana antara Pemohon PK dan Gus Nur. Pemohon PK hanya sebagai narasumber, bukan pengunggah atau penyebar video.
 
"Video tidak diunggah oleh pemohon PK. Pemohon PK hanya diwawancarai dan bersumpah, tidak terlibat dalam pengunggahan atau penyebaran video. Pertanggungjawaban pidana tidak dapat dibebankan atas perbuatan pihak lain," lanjut Yakub.
 
Dia menegaskan, tidak ada bukti manipulasi informasi atau pemalsuan. Klaim tentang ijazah Joko Widodo adalah pendapat berdasarkan keyakinan pemohon PK. Jaksa tidak membuktikan keaslian ijazah dengan verifikasi forensik.
 

Editor : Tata Rahmanta

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut