Ditemani Sepeda Mini: Kisah Inayati, Guru Honorer Bergaji Rp300 Ribu yang Dirikan Lima Taman Bacaan

Dari TKI ke Pejuang Literasi
Kisah pengabdian Inayati dimulai jauh sebelum ia menetap kembali di Grobogan. Pada tahun 1993, ia sempat menjadi guru di Banjarmasin. Setelah itu, demi kebutuhan hidup, ia menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di Brunei Darussalam selama tujuh tahun. Di sana, ia bekerja untuk keluarga kerabat kerajaan. Kehidupan yang relatif nyaman itu akhirnya ia tinggalkan demi alasan yang lebih besar: pulang ke Indonesia untuk merawat anak semata wayangnya serta kedua orang tua yang sakit.
“Waktu itu saya merasa ini panggilan. Anak saya butuh saya, dan ibu saya sedang sakit. Ya sudah, saya pulang dan mulai lagi dari nol,” kenangnya.
Sejak saat itu, jiwa pendidiknya kembali bangkit. Tak puas hanya mengajar di sekolah, ia mulai merintis taman bacaan masyarakat. Bermodal uang pribadi dan tenaga yang tersisa setelah mengajar, ia mengumpulkan buku-buku, membuat rak dari kayu bekas, dan membuka ruang belajar gratis di rumahnya. Satu demi satu, taman bacaan mulai bermunculan.
Kini, lima taman bacaan telah berdiri yang tersebar di beberapa tempat di Desa Ngombak. Semuanya terbuka bagi siapa saja yang ingin belajar, dari anak-anak hingga orang dewasa. Tak ada biaya, tak ada batasan.
Lawan Gadget dengan Buku
Menurut Inayati, motivasinya mendirikan taman bacaan adalah keprihatinan terhadap anak-anak yang semakin terpaku pada gadget
“Saya sedih lihat anak kecil sudah kecanduan HP. Padahal di usia mereka itu waktunya untuk membaca, bermain, dan bertanya. Makanya saya bangun taman bacaan, supaya ada alternatif yang mendidik.” keluh Inayati
Ia pun rajin mencari donasi buku. Dari pintu ke pintu, dari media sosial, hingga komunitas pegiat literasi di kota-kota besar. Tak jarang, ia mendapatkan ratusan buku dari para donatur yang tersentuh oleh kisahnya.
Editor : Tata Rahmanta