get app
inews
Aa Text
Read Next : Dengan Honor 300 Ribu, Wanita Tangguh di Grobogan Berjuang Cerdaskan warga, Dirikan 5 Taman Bacaan

Ditemani Sepeda Mini: Kisah Inayati, Guru Honorer Bergaji Rp300 Ribu yang Dirikan Lima Taman Bacaan

Jum'at, 02 Mei 2025 | 08:05 WIB
header img
Inayati Guru Honor 300 Ribu dan Pemilik Taman Baca Menaiki Sepeda Mini Menuju Sekolah. Foto : iNews

GROBOGAN,iNewsBoyolali.id-Di suatu pagi yang masih berselimut kabut tipis di pedalaman Grobogan, Jawa Tengah, seorang wanita paruh baya tampak mengayuh sepeda mini tuanya menyusuri jalanan desa yang becek dan berbatu. Jalur itu bukan sekadar rute harian—ia adalah simbol perjalanan panjang seorang pejuang literasi yang tanpa pamrih memperjuangkan pendidikan untuk masyarakat desa yang nyaris luput dari perhatian negara.

Namanya Inayati, warga Desa Ngombak, Kecamatan Kedungjati. Sehari-hari, ia menjalani profesi sebagai guru honorer di tiga sekolah berbeda: SD Negeri 1 Ngombak, sebuah SMP, dan satu madrasah. Semua ia jalani dengan semangat, meski penghasilan yang didapat hanya sebesar Rp300 ribu per bulan.

“Setiap hari saya berangkat pagi naik sepeda mini, kadang bawa bekal air putih dan roti. Kalau hujan ya tetap jalan. Namanya juga sudah pilihan hidup,” ujar Inayati sambil tertawa kecil, sembari membetulkan tas kain yang selalu ia bawa berisi buku-buku pelajaran dan catatan kecilnya.

Bukan Lulusan Pendidikan, Tapi Dipercaya Mengajar Bahasa Inggris

Inayati bukanlah lulusan fakultas pendidikan. Ia menyandang gelar Sarjana Hukum, namun kemampuannya dalam berbahasa Inggris membuat sekolah mempercayakannya menjadi pengajar mata pelajaran tersebut. Dengan suara lembut namun tegas, ia mengajar anak-anak desa agar berani bermimpi tinggi, menembus batas kampung mereka yang sepi.

“Inayati sudah mengajar sejak tahun 2020. Kami tahu kondisi sekolah kami sangat terbatas, jadi hanya bisa beri honor Rp300 ribu. Tapi ia tak pernah mengeluh,” kata Tatik Budianingsih, Kepala Sekolah SD Negeri 1 Ngombak.

Tak jarang, Inayati mengajar di kelas tanpa fasilitas memadai. Spidol yang nyaris kering, papan tulis kusam, dan ruang kelas yang dipenuhi tempelan kertas dan tulisan menjadi pemandangan sehari-hari. Namun dari tempat seperti inilah, benih perubahan ia tanam.


Inayati Mengajar Bahasa Ingris di SD Negeri Ngombak. Foto : iNews

Dari TKI ke Pejuang Literasi

Kisah pengabdian Inayati dimulai jauh sebelum ia menetap kembali di Grobogan. Pada tahun 1993, ia sempat menjadi guru di Banjarmasin. Setelah itu, demi kebutuhan hidup, ia menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di Brunei Darussalam selama tujuh tahun. Di sana, ia bekerja untuk keluarga kerabat kerajaan. Kehidupan yang relatif nyaman itu akhirnya ia tinggalkan demi alasan yang lebih besar: pulang ke Indonesia untuk merawat anak semata wayangnya serta kedua orang tua yang sakit.

“Waktu itu saya merasa ini panggilan. Anak saya butuh saya, dan ibu saya sedang sakit. Ya sudah, saya pulang dan mulai lagi dari nol,” kenangnya.

Sejak saat itu, jiwa pendidiknya kembali bangkit. Tak puas hanya mengajar di sekolah, ia mulai merintis taman bacaan masyarakat. Bermodal uang pribadi dan tenaga yang tersisa setelah mengajar, ia mengumpulkan buku-buku, membuat rak dari kayu bekas, dan membuka ruang belajar gratis di rumahnya. Satu demi satu, taman bacaan mulai bermunculan.

Kini, lima taman bacaan telah berdiri yang tersebar di beberapa tempat di Desa Ngombak. Semuanya terbuka bagi siapa saja yang ingin belajar, dari anak-anak hingga orang dewasa. Tak ada biaya, tak ada batasan.

Lawan Gadget dengan Buku

Menurut Inayati, motivasinya mendirikan taman bacaan adalah keprihatinan terhadap anak-anak yang semakin terpaku pada gadget

“Saya sedih lihat anak kecil sudah kecanduan HP. Padahal di usia mereka itu waktunya untuk membaca, bermain, dan bertanya. Makanya saya bangun taman bacaan, supaya ada alternatif yang mendidik.” keluh Inayati

Ia pun rajin mencari donasi buku. Dari pintu ke pintu, dari media sosial, hingga komunitas pegiat literasi di kota-kota besar. Tak jarang, ia mendapatkan ratusan buku dari para donatur yang tersentuh oleh kisahnya.


Inayati Mengajar Warga Beserta Anak-Anaknya di Taman Bacaan. Foto :iNews

Dampak Nyata di Tengah Keterbatasan

Bagi warga Desa Ngombak, taman bacaan Inayati bukan hanya tempat belajar, tetapi juga ruang tumbuh. Wati, salah satu warga desa, mengaku sangat terbantu.

“Anak saya jadi suka baca. Saya juga bisa dampingi dia belajar tanpa harus bayar mahal. Ini berkah buat kami yang tak punya banyak uang,” katanya.

Kini, kelima taman bacaan itu telah diserahkan pada pengelolaan warga. Relawan lokal turut menjaga keberlangsungannya, sementara Inayati tetap aktif mengawasi dan membantu semampunya.

Meski usianya kian menua, semangatnya tetap menyala. Inayati masih bermimpi bisa menambah taman bacaan di desa-desa lain, jika ada donatur atau bantuan dari pemerintah. Namun baginya, yang terpenting bukanlah seberapa banyak taman yang ia bangun—melainkan seberapa dalam dampaknya bagi masyarakat.

“Saya cuma ingin anak-anak bisa punya mimpi, bisa pintar, dan tak tertinggal hanya karena orang tuanya tak mampu. Kalau bukan kita yang memulai, siapa lagi?”

Cerita Inayati adalah satu dari sekian banyak kisah guru honorer yang berjuang di balik bayang-bayang sistem pendidikan yang timpang. Di tangan merekalah, semangat Indonesia belajar tetap hidup. Pemerintah dan masyarakat perlu melihat lebih dekat—bahwa kemajuan pendidikan bukan hanya soal gedung megah atau kurikulum canggih, tapi juga tentang manusia-manusia kecil yang berani berjuang dalam diam.

Editor : Tata Rahmanta

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut