Kirab Budaya, Tradisi Rutin Tiap 1 Muharam di Kecamatan Selo

Tata Rahmanta
Kirab Budaya 1 Muharam di Kecamatan Selo, Boyolali, (Foto: ist/ RT. Sayudi Guru SMK N 1 Banyudono).

Ditulis Oleh

RT. Sayudi Dwijo Darmonagoro, S.Pd

Guru Bahasa Jawa SMK N 1 Banyudono

 

BOYOLALI, iNewsBoyolali.id –  Sudah menjadi satu tradisi, setiap tanggal 1 pada bulan Muharam, masyarakat di lereng Gunung Merapi dan Merbabu menggelar Tradisi Kirab Budaya. Tepatnya Dukuh Ngaglik dan Pojok di Desa Samiran Kecamatan Selo, masyarakat setempat melakukan Tradisi Kirab Budaya sebagai ungkapan rasa syukur mereka terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berbagai kenikmatan hidup dan rejeki.

Diungkapkan oleh sesepuh Dukuh Ngaglik, Amir Rejo bahwa acara utama dalam tradisi tersebut yakni menyatukan air yang bersumber dari Gunung Merbabu dengan air yang bersumber dari Gunung Merapi.

“Dengan harapan dan doa semoga dengan menyatunya air tersebut juga akan bersatu pula gotong-royong dan kekompakan warga masyarakat yang berada dilereng kedua gunung tersebut,” ungkapnya saat dijumpai di tempat tinggalnya pada Senin (06/05/2023).

Acara dimulai pada sore hari, dengan kegiatan wilujengan dan dilanjutkan dengan pembuatan tumbeng besar berisi hasil bumi daerah setempat. Dimulai dari rumah masing masing masyarakat, mereka akan berjalan bersamaan menuju ke Simpang Paku Buwono IX yang menjadi pusat kegiatan Tradisi Kirab Budaya.

Di lokasi itu akan diadakan sebuah ritual sakral yaitu penyatuan air dari kedua sumber yang berada di Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Sebelum air disatukan, terlebih dahulu akan ada perwakilan pasrah untuk penyerahan air dari Gunung Merapi dan Gunung Merbabu kepada sesepuh Desa yang nantinya akan mencampurkan air tersebut,” jelasnya.

Setelah air disatukan, air tersebut akan disimpan dan di letakkan di sebuah pesanggrahan di dukuh Pojok yang bernama Pesanggrahan Kebokanigoro. Setelahnya, masyarakat ataupun pengunjung dapat mengambil hasil bumi dari tumpeng besar yang telah diarak oleh masyarakat.

“Rangkaian acara akan ditutup dengan pentas kesenian-kesenian yang ada, umumnya adalah reog, sholawatan kemudian adapula wayang kulit semalam suntuk yang merupakan warisan budaya Unesco.,” pungkasnya.

(RT. Sayudi Dwijo Darmonagoro, S.Pd Guru Bahasa Jawa SMK N 1 Banyudono Boyolali)

Editor : Tata Rahmanta

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network