BOYOLALI, iNewsBoyolali.id – Upaya pelestarian budaya lokal terus digencarkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Boyolali. Bekerja sama dengan Himpunan Ahli Rias Pengantin Indonesia (Harpi) Melati Boyolali, mereka menggelar Lomba Rias Wahyu Merapi Pacul Goweng di Museum R. Hamong Wardoyo, Selasa (15/07/2025).
Sebanyak 23 perias pengantin berpartisipasi dalam lomba yang mengusung tata rias khas Boyolali tersebut. Selain sebagai ajang unjuk kreativitas, kegiatan ini juga menjadi momen penting untuk memperkenalkan Rias Wahyu Merapi Pacul Goweng sebagai bagian dari identitas budaya Boyolali yang unik dan bersejarah.
Kepala Bidang Kebudayaan Disdikbud Boyolali, Eko Sumardiyanto, menyatakan bahwa kegiatan ini tidak hanya bertujuan meramaikan museum, tapi juga untuk menyosialisasikan riasan khas Boyolali ke masyarakat luas.
“Harapan kita, tata rias ini bisa memasyarakat. Masyarakat tahu bahwa Boyolali punya kekhasan dalam tata rias pengantin, dan bisa menggunakannya ketika ada hajatan,” ujarnya.
Senada dengan itu, Penasehat Harpi Melati Boyolali, Cetti Nuraini Sukarno, menyambut baik pelaksanaan lomba ini dan berharap riasan khas tersebut bisa dikenal lebih luas.
“Saya sangat mengapresiasi. Ini adalah bentuk nyata pelestarian budaya daerah, dan semoga Rias Wahyu Merapi Pacul Goweng bisa menggaung hingga ke seluruh Indonesia,” katanya.
Riasan Bersejarah dari Masa Perang Diponegoro
Dalam catatan sejarah yang dikutip dari buku Tata Rias Pengantin Khas Boyolali: Wahyu Merapi Pacul Goweng, riasan ini berakar dari kisah pada masa Perang Diponegoro (1825–1830). Disebutkan, seorang prajurit yang hendak menikah dengan warga setempat di wilayah Stabelan, Kecamatan Selo, dilarang memakai busana Mataraman karena menyerupai pakaian raja.
Sebagai gantinya, sang pengantin pria diberi pinjaman pakaian prajurit: baju sorjan, jarik Sidomukti, celana hitam panjang, keris branggah, serta topi prajurit berlubang di belakang yang akhirnya memberi nama "Pacul Goweng", karena bentuknya menyerupai pacul rusak (goweng).
Sementara pengantin perempuan mengenakan gelung tekuk, kebaya sederhana, jarik Sidomukti, paes hitam, dan rangkaian bunga kinasih. Keduanya tampil sederhana, tanpa alas kaki, namun sarat makna perjuangan dan kesederhanaan.
Dengan penyelenggaraan lomba ini, diharapkan generasi muda Boyolali maupun masyarakat umum bisa lebih mengenal dan bangga terhadap warisan budaya yang unik ini.
Editor : Tata Rahmanta
Artikel Terkait