SOLO, iNewsBoyolali.id – Menjelang Pemilu 2024, Indonesia sebagai negara hukum yang didasarkan pada rule of law dengan demokrasi dan HAM sebagai pilar-pilarnya harus dipertahankan. Dengan demikian, warga negara, termasuk masyarakat adat dan agama leluhur, dapat terjaga dari kesewenang-wenangan penguasa.
Hal itu diungkapkan Sulistyowati, profesor antropolgi Universitas Indonesia (UI) di di sela-sela Konferensi Internasional, The 5th International Conference and Consolidation on Indigenous Religions (ICIR), di PUI Javanologi Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Rabu (22/11/2023). Konferensi mengambil tema Democracy of the Vulnerable atau demokrasi kelompok rentan.
Sementara itu, Dewi Kanti, Komisioner Komnas Perempuan mengangkat pentingnya elemen masyarakat adat dalam menyelamatkan demokrasi di Indonesia.
“Kita tidak bisa meninggalkan nilai-nilai, pengetahuan, dan kearifan yang ada di masyarakat,” ucap Dewi.
Senada dengan itu, Gress Raja, penghayat kepercayaan Salika Suku Lio dan Presidium MLKI Kota Surakarta, menyampaikan bahwa komunitasnya berharap agar demokrasi Indonesia bisa benar-benar menempatkan kembali adat sebagai tatanan hidup bersama.
“Saat ini adat hanya direduksi sebagai tatanan budaya kuno, padahal eksistensinya sudah teruji oleh zaman,” katanya.
Terkait dengan isu ini, Samsul Maarif, Ketua Program Studi Agama dan Lintas Budaya atau (CRCS) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menyebutkan bahwa ICIR selalu mengupayakan terciptanya ruang bagi kelompok-kelompok rentan, termasuk masyarakat adat, untuk menyuarakan pandangannya.
Menyambut momentum Pemilu, Anchu -sapaan akrab Samsul menegaskan bahwa pemilu sebagai pesta demokrasi mestinya dirayakan secara lebih substantif, alih-alih menjadi isu elektoral semata.
Hal ini juga menjadi poin penting yang disampaikan oleh para pembicara dalam Sesi Plenari 1 sebelumnya yang mebahas isu living laws (hukum yang hidup) dalam UU KUHP yang baru.
Dimoderatori oleh Husni Mubarak dari PUSAD Paramadina, panel ini mendiskusikan sejauh mana living laws yang diatur dalam KUHP dapat menjadi bentuk rekognisi atau pengakuan terhadap masyarakat adat, atau justru menciptakan pembatasanpembatasan yang justru memperburuk situasi mereka.
“Hukum yang hidup yang dimaksud dalam KUHP adalah hukum adat, yang mana pengertiannya beragam. Karenanya, sulit membayangkan implementasinya,” ujar Prof Sulistyowati.
Ia juga mempertanyakan bagaimana hukum adat yang hidup dalam keseharian bisa dikompilasikan dalam peraturan daerah.
Menurutnya, kurang jelasnya (makna dari) hukum adat atau hukum yang hidup dalam KUHP bisa menjadi masalah yang besar.
Dewi Kanti yang juga menjadi salah satu narasumber dalam diskusi mengingatkan bahwa sebagai subjek hukum, baik masyarakat adat maupun penghayat kepercayaan di Indonesia masih sangat rentan dikriminalisasi.
Dalam hal ini, Dewi mempertanyakan apakah pembuatan living laws di level peraturan daerah dapat memastikan pelibatan masyarakat yang merupakan subjek dari hukum tersebut. Ia juga menambahkan bahwa masyarakat adat dan penghayat kepercayaan itu tidak homogen, tidak seragam, dan memang tidak bisa diseragamkan.
Di sisi lain, masih banyak celah yang memungkinkan implementasi KUHP ini akan bergantung pada perspektif yang sangat subjektif dari para pengambil keputusan atau pembuat kebijakan.
Untuk itu, ia merekomendasikan agar sistem hukum di Indonesia dikaji kembali demi memastikan terpenuhinya hak-hak seluruh warga negara.
“Perlu penelaahan ulang sistem hukum nasional yang dapat mengakomodir kepentingan seluruh warganya,”ucap Dewi.
Editor : Tata Rahmanta